Perlambang Kota, Perlambang Cinta
Hanya lambang sederhana.
Trapesium berkaki sama, warnanya merah menyala.
Rangkiang berbeda dari gunung, laut dan senjata pusaka.
Pita biru muda membentang huruf-huruf janji kita,
“Padang kota tercinta.”
Bagaimana bisa kau masih waspada.
Ketika tanduk kerbau kustilir,
mengkilap hitam terukir.
Menjadi perisai bagi tubuhmu yang masai.
Mengutuk retak sebab nyawa bagimu perak.
Darah banjiri tubuhmu.
Perisai rubuh tertembus akal bulus serumpun tikus.
Permainan kata mulut-mulutnya yang menganga,
mengkilap merah gigi-gigi tajam penuh darah.
Tikus sebut kehormatan,
tubuhmu mengerang kesakitan.
Kusimpan harapan pada Gonjong agungmu.
Semisal nyanyian pecah “Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah.”
Lalu kerisku merawatmu dari hentakan zaman,
penggada menusuk lawan dan lima gelombang mengantar engkau pulang.
Gunung menjaga laparmu, tanah hitam tempat tumbuhan terbenam.
Begitu tiba-tiba, Gojongmu doyong menyongsong peradaban,
keris terkikis miris, penggadaku patah tapi kau hanya terengah.
Maka kerinduanku padamu melempar gelombang,
mengulum kota yang tenggelam menyenangkan.
Dan doa pun terkabulakan, meski darah tersepai di ujung pantai,
gunung hilang akar, bergetar bersama tubuhmu yang lapar
Kususun kata yang agung kuning kenanga,
pada awan putih setipis sutera.
Ucapan kasih yang menyisih kebencian, menasbih dzikir kerinduan.
Serupa angin, kadang menyayat pilu atau jenuh menjadi gerimis yang riang
“Padang kota tercinta” kuharap selalu terngiang.
Rasanya kau tak pernah terngiang.
Hanya sebutan yang menghiasi langit siang,
atau malam ketika kau tak sedikitpun dihiraukan.
Haruskah aku menyapamu kembali.
Lewat air, tanah, udara,
mengusikmu yang yang selalu merindukan kebenaran.
September, 2011