Senin, 14 November 2011

Tentang Padang


Perlambang Kota, Perlambang Cinta
Hanya lambang sederhana.
Trapesium berkaki sama,  warnanya merah menyala.
Rangkiang berbeda dari gunung, laut dan senjata pusaka.
Pita biru muda membentang huruf-huruf janji kita,
 “Padang kota tercinta.”

Bagaimana bisa kau masih waspada.
Ketika tanduk kerbau kustilir,
mengkilap hitam terukir.
Menjadi perisai bagi tubuhmu yang masai.
Mengutuk retak sebab nyawa bagimu perak.

Darah banjiri tubuhmu.
Perisai rubuh tertembus akal bulus serumpun tikus.
Permainan kata mulut-mulutnya yang menganga,
mengkilap merah gigi-gigi tajam penuh darah.
Tikus sebut kehormatan,
tubuhmu mengerang kesakitan.

Kusimpan harapan pada Gonjong agungmu.
Semisal nyanyian pecah “Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah.”
Lalu kerisku merawatmu dari hentakan zaman,
penggada menusuk lawan dan lima gelombang mengantar engkau pulang.
Gunung menjaga laparmu, tanah hitam tempat tumbuhan terbenam.

Begitu tiba-tiba, Gojongmu doyong menyongsong peradaban,
keris terkikis miris, penggadaku patah tapi kau hanya terengah.
Maka kerinduanku padamu melempar gelombang,  
mengulum kota yang tenggelam menyenangkan.
Dan doa pun terkabulakan, meski darah tersepai di ujung  pantai,
gunung hilang akar, bergetar bersama tubuhmu yang lapar

Kususun kata yang agung kuning kenanga,
pada awan putih setipis sutera.
Ucapan kasih yang menyisih kebencian, menasbih dzikir kerinduan.
Serupa angin, kadang menyayat pilu atau jenuh menjadi gerimis yang riang
“Padang kota tercinta” kuharap selalu terngiang.

Rasanya kau tak pernah terngiang.
Hanya sebutan yang menghiasi langit siang,
atau malam ketika kau tak sedikitpun dihiraukan.
Haruskah aku menyapamu kembali.
Lewat air, tanah, udara,
mengusikmu yang yang selalu merindukan kebenaran.

September, 2011

Minggu, 13 November 2011

Persembahan Ulang Tahun

Sketsa 3 Perspektif

Kugambar kau dalam tiga perspektif yang saru.
Mata sayu juga hidungmu tajam meruncing di penaku
1
Mengukir garis rindu menjadi simbol dan lekuk garis yang hablur,
batinku berbaur menjadi bayang kubur tersungkur.
Akalku lepas memelukmu, tak ada rasa ragu.
Karena bayang-bayang itu akan mendewasakanmu.
2
Sebab yang bergerak tak pernah bersih,
kuciptakan kau dalam kertas putih.
Kuberi semacam ruh, agar senyummu terlihat nyata,
bukan rekayasa kehidupan manusia
3
Penaku beringsut melukis usiamu,
masa muda yang hilang satu cahaya.
Kuletakan cahaya tepat di matamu,
agar kau pandai merasakan kehidupan.

Bandung, 10 Juni 2011



 Kata yang Tanggal

 Dalam termenung aku menyebutmu.
sebab kurung kaku menjadi semacam belenggu.

 Tenang kasih, aku masih mengulang parasmu
merasakan getaran kelana membran usia,
melukis paras yang semakin renta.

Masih kugenggam seikat kata,
hendak kuikat di atas tiang langit.
Menjadi badai paling sengit,
penghapus ribuan jelmaan matahari.

Kering samudera di mataku, dan badai pun berlalu
: penantian yang dibekukan rasa sabar.

Belenggu tak bisa kupecahkan,
Hanya rimbun warna masih tersimpan
dalam pitam larutan malam.

Kasih, aku menyerah pada waktu.
Bandung, 10 Juni 2011

Ulang Tahun

Tuhan melirikmu
Izroil mengasah pisau
Ayahmu tersenyum, ibumu terharu
Keluargamu sorak-sorai dalam gempita
teman-temanmu bahagia
dan kau yang harus segera merasakannya
teman-temanmu menganga
Keluargamu tak percaya
Ayahmu tersenyum, ibumu mengulum tangis
Izroil kembali
Tuhan menatapmu

Bandung, 10 Juni 2011

France and English

MENGHANGATKAN CINTA MESKI HANYA MERICA
Untuk Chef  Rahmi yang cantik dan baik hati

Ingatanku tergores pada namamu.

Sajak cinta serupa tungku panas kepulkan ingatan itu.
Hari-hari adalah bara kayu berulang padam dan berpijar.
Kini merah, buncah, dan gembira bermuara di namamu : Lukisan huruf yang mengerat
jantungku dengan kenangan dan rasa lapar.
Kau adalah merica di atas jantung yang terpenggal, sesaat coklat tua
dengan asap putih melati. Kau meleleh indah semisal keju, coklat, dan gula aren.
Tapi nadiku hapal anggun pedasmu yang telaten.
Setengah Jantungku masih berdegup, renungkan asap yang sayup

Jika nasi suci berlapis daun pisang yang sakral,
akar palawija mengiring gurih kental,
jantungku tak akan larut dalam siasat yang kau lantunkan.
persetubuhan di atas tungku yang terlupakan.

Juli 2011



Padang tanpa Batu 
: Mrs. S
1
Aku mencarimu dari jejak yang retak oleh angin
getir mengulum ujung bibir.
Sedang kau hanya titik, serupa fatamorgana di ujung pandangku,
pada padang yang memanjang tanpa batu.
Kau melangkah samar di ruas-ruas hari,
dan mata pijar yang memanjang: mencekam.
Bayanganku larut dalam malam,
kau belum lengkap kutemukan.

2
Menguncupkan perasaan padamu adalah hilang satu bagian tubuhku.
Sedang beribu rintik dewasakan hijau tubuhmu.
Aku menamai setiap tanah yang kuning, kau ranggas, keras dan kering.
Tapi aku tungku yang menakuti langkah cemburu.
Pun angin berdebu yang mengusik pucuk daun persembahanmu untukku.
Kau tak akan menemukanku di padang tanpa batu
Hanya rintik air  penegak debu,
gumpalan harap perubah nasib lekas yang ikrar.

1
Malam takluk kembali.
Hanya tanganmu yang terkumpul di kantung pagi.
Ketika itu halusnya menyapa kering cabangku yang gemetar.
Pun beberapa potong senyum datar,
tapi tak akan sampai lapar aku hisap harunya.
Ia tetap utuh menjadi pengayuh desir darahku.
Serupa debu yang bergericik diterpa angin (bungkuslah ranting ingatan)
Aku tetap mengenalmu sebagai padang lenggang,
penggoda cabang-cabang, menjadi riang dalam badai.
Meski pertemuan hanya anai-anai,
dan aku patah kau hembuskan.

2
Padang ini memang tak pernah berbatu,
tapi kau beku. Tak perlu air turun di gersang pandang matamu,
juga debu dan pasir halus tangan-tanganku.
Kau masih menyamar dalam jejak langkahku yang pudar.
Sementara kakiku bercabang (mengingatmu seluruh tanpa bayang).
Menebar jejak-jejak yang parau.

Juli 2011

PADANG TANPA HUJAN

PADANG TANPA HUJAN
: Zie
"Kau lahir dari ayat dan selesai di tubuhku yang mengeras”

Hadirmu seperti kelahiran rembulan atau purnama di pangkal sempurnanya.
Aku hanya mata pada senja atau embun di langit tanpa warna.
Karena mencintaimu adalah berdiri malam hari, dengan hati telanjang kaki.
Lalu melepas sore dan mengikrar dingin pagi.
(Aku menguap)

Di raut bumi, aku menatapmu.
Bersama dzikir padi di rahim-rahimnya yang kuning,
sayur dan buah yang sabar dengan waktu,
atau aku dan kamu yang mesra, bertukar peluh di ladang batu.
(Aku menetes)

Terkadang parau suaramu, menyambuk batin terdalamku.
Serupa Qisas Adam yang pertama, atau jerit Bal’am di sudut kota yang terbakar.
Dan kau tengadah, di detik ujung perintah kurban.
(Aku mengukir rintik hujan)

Aku rasa,  fajar dan sunyi bertukar mengharukan,
Ikatanmu longgar di terkam keyakinan,
dan menyembul asap dari sungai yang dijanjikan.
Kita dulang berlian meski seraut cahaya bulan
Karena Sang penggoda mengais kukunya yang tertahan,
(Aku tertahan)


“Kita harus lahir sebelum mengeras di padang tanpa hujan”
(Aku telah menjadi kolam)
Kediri, Agustus 2011